Selasa, 03 Januari 2012

Karya Sastra Angkatan 1966-1970an ; Taufik Ismail


Angkatan ini ditandai dengan terbitnya Horison (majalah sastra) pimpinan Mochtar Lubis. Semangat avant-garde sangat menonjol pada angkatan ini. Banyak karya sastra pada angkatan ini yang sangat beragam dalam aliran sastra dengan munculnya karya sastra beraliran surealistik, arus kesadaran, arketip, dan absurd. Penerbit Pustaka Jaya sangat banyak membantu dalam menerbitkan karya-karya sastra pada masa ini. Sastrawan pada angkatan 1950-an yang juga termasuk dalam kelompok ini adalah Motinggo Busye, Purnawan Tjondronegoro, Djamil Suherman, Bur Rasuanto, Goenawan Mohamad, Sapardi Djoko Damono dan Satyagraha Hoerip Soeprobo dan termasuk paus sastra Indonesia, H.B.Jassin.

Beberapa satrawan pada angkatan ini antara lain: Umar Kayam, Ikranegara, Leon Agusta, Arifin C.Noer, Darmanto Jatman, Arief Budiman, Goenawan Mohamad, Budi Dharma, Hamsad Rangkuti, Putu Wijaya, Wisran Hadi, Wing Kardjo, Taufik Ismail, dan banyak lagi yang lainnya.

Yang sering terdengar di telinga kita adalah Taufik Ismail.
Beliau dilahirkan di Bukittinggi, 25 Juni 1935. Beliau menghabiskan masa SD dan SMP di Bukittinggi dan SMA di Pekalongan, ia tumbuh dalam keluarga guru dan wartawan yang suka membaca. Ia telah bercita-cita menjadi sastrawan sejak masi SMA. Dengan pilihan sendiri, ia menjadi dokter hewan dan ahli peternakan karena ingin memiliki bisnis peternakan guna menafkahi cita-cita kesusastraannya. Ia tamat FKHP-UI Bogor pada 1963 tapi gagal punya usaha ternak yang dulu direncanakannya di sebuah pulau di selat malaka. 

Berikut beberapa Puisi hasil karya Taufik Ismail :

Puisi – Puisi Langit

Menengadah Keatas, Merenungi Ozon Yang Tak Tampak
1989
Langit masih biru di atas halaman dan kampungku
Awan dengan beberapa juta jemarinya,
saling berpegangan bergugus-gugusan
Mereka bergerak perlahan bagaikan enggan
Masih adakah angin yang bertugas dalam keindahan
Aku tidak mendengar lagi suara unggas dan siamang
Seperti di desaku Baruh, di masa kanakku
Kini yang beringsut adalah gemuruh kendaraan
Menderu di jalanan kota besar
Menderu di jalanan kota sedang
Menderu di jalanan kota kecil
Semua berkejaran dalam jalur nafkah dunia
Semua menanam mesin dan menabur industri
Semua memburu panen angka-angka
Bergumam dan menderam dalam paduan suara
Kemudian selesma, bersin lalu terbatuk-batuk
Punggungmu jadi terbungkuk-bungkuk
Siapa yang akan mengurutmu di bagian tengkuk
Danau yang menyimpan warna biru
kenapa engkau jadi kelam dan hijau
Sungai yang meluncurkan air berkilau
Kenapa engkau keruh, suaramu sengau
Hutan yang menutup daratan, perbukitan dan gunung
kudengar tangismu dipanggang nyala api
seraya kesakitan engkau melahirkan
luasan gurun pasir kering kerontang
Mereka menggergaji dua lubang raksasa di atas sana
Terdengarkah olehmu gemeretak suaranya
Pasukan klor yang garang membantai lapisan ozon
Dan lewat sobekan-sobekannya
menerjuni kawah stratosfer menganga

Meluncur-luncurlah gerimis sinar ultra ungu
Menusuki kulit bumi
Menusuki daun-daunan
Menusuki kulit kita
dan mengukir rajah kanker
dengan tinta ultra ungu
Dan makin panaslah kulit bumi
Engkau akan jadi penghuni padang pasir
Aku akan mengukur bentangan kersik membara
Di atas unggun ini
Akan kita kemanakan anak-cucu kita
Bongkahan es di kedua kutub, utara selatan
Dikabarkan meleleh perlahan-lahan
Menggenangi kota-kota pelabuhan
Di atas unggun, dikepung pasang lautan
Akan kita kemanakan anak-cucu kita
Mereka bertanya
Masih adakah angin yang bertugas dalam keindahan
Engkau terpaksalah berkata
Ada memang getar sejuta senar gitar
Tapi kini nyanyian lagu radiasi
Yang melelehkan air mata terlambat sekali
Jatuh membasahi catatan-catatan keserakahan
Ketika semua menanam mesin dan menabur industri
Ketika semua memburu panen angka-angka
Berkejaran dalam jalur nafkah dunia
Lalai membaca isyarat-isyarat demikian jelasnya
Dari Pemilik Semesta yang menitipkan ciptaanNya
Pada kita semua.

Membaca Tanda-Tanda
1982
Ada sesuatu yang rasanya mulai lepas
dari tangan
dan meluncur lewat sela-sela jari kita

Ada sesuatu yang mulanya
tak begitu jelas
tapi kini kita mulai merindukannya

Kita saksikan udara
abu-abu warnanya
Kita saksikan air danau
yang semakin surut jadinya
Burung-burung kecil
tak lagi berkicau pagi hari

Hutan kehilangan ranting
Ranting kehilangan daun
Daun kehilangan dahan
Dahan kehilangan hutan

Kita saksikan zat asam
didesak asam arang
dan karbon dioksid itu
menggilas paru-paru

Kita saksikan
Gunung memompa abu
Abu membawa batu
Batu membawa lindu
Lindu membawa longsor
Longsor membawa air
Air membawa banjir
Banjir membawa air

air mata

Kita telah saksikan seribu tanda-tanda
Bisakah kita membaca tanda-tanda?

Allah
Kami telah membaca gempa
Kami telah disapu banjir
Kami telah dihalau api dan hama
Kami telah dihujani abu dan batu

Allah
Ampuni dosa-dosa kami

Beri kami kearifan membaca
Seribu tanda-tanda

Karena ada sesuatu yang rasanya
mulai lepas dari tangan
dan meluncur lewat sela-sela jari

Karena ada sesuatu yang mulanya
tak begitu jelas
tapi kini kami
mulai merindukannya.


Puisi - Puisi Menjelang Tirani dan Benteng

Elegi buat Sebuah Perang Saudara
1960
Dengan mata dingin dia turun ke medan
Di bahunya tegar tersilang hitam senapan
Dengan rasa ingin ditempuhnya perbukitan
Mengayun lengan kasar berbulu dendam

Angin pun bagai kampak sepanjang hutan
Bukit-bukit dipacu atas kuda kelabu
Dada dan lembah menyenak penuh deram
Di ujung gunung lawannya sudah menunggu

Terurai kendali kuda, merentak ringkiknyaDi kaki langit teja mengantar malam tembagaLuluhlah senja dalam denyar. Api mesiuDi ujung gunung lawan rebah telungkup bahu
Angin tak lagi menderu tapi desah tertahan
Dengan kaki sombong dibalikkannya lelaki itu
Ketika senja berayun malam di dahan-dahan

Angin pun menggigiti kulit bagai gergaji
Telentang kaku di bumi. Telah dibunuh adik sendiri

Almamater
1963
Di depan gerbangmu tua pada hari ini Kami menyilangkan tangan ke dada kiri Tegak tengadah menatap bangunanmu Genteng hitam dan dinding kusam. Berlumut waktu Untuk kali penghabisan

Marilah kita kenangkan tahun-tahun dahulu Hari-hari kuliah di ruang fisika Mengantuk pada pagi cericit burung gereja Praktikum. Padang percobaan. Praktek daerah Corong anastesi dan kilau skalpel di kamar bedah Suara-suara menjalar sepanjang gang Suara pasien yang pertama kali kujamah

Di aula ini, aula yang semakin kecil Kita beragitasi, berpesta dan berkencan Melupakan sengitnya ujian, tekanan gurubesar Melepaskannya pada hari-hari perpeloncoan Pada filem dan musik yang murahan

Ya, kita sesekali butuh juga konser yang baik Drama Sophocles, Chekov atau ‘Jas Panjang Pesanan’ Memperdebatkan politik, Tuhan dan para negarawan Tentang filsafat, perempuan serta peperangan Bayang benua abad dahulu lewat abad yang kini

Di manakah kau sekarang berdiri? Di abad ini Dan bersyukurlah karena lewat gerbangmu tua Kau telah dilantik jadi warga Republik Berpikir Bebas Setelah bertahun diuji kesetiaan dan keberanianmu Dalam berpikir dan menyatakan kebebasan suara hati Berpijak di tanah air nusantara Dan menggarap tahun-tahun kemerdekaan Dengan penuh kecintaan Dan kami bersyukur pada Tuhan Yang telah melebarkan gerbang tua ini Dan kami bersyukur pada ibu bapa Yang sepanjang malam Selalu berdoa tulus dan terbungkuk membiayai kami Dorongan kekasih sepenuh hati Dan kami berhutang pada manusia Yang telah menjadi guru-guru kami Yang membayar pajak selama ini Serta menjaga sepeda-sepeda kami Pada hari ini di depan gerbangmu tua Kami kenangkan cemara halamanmu dalam bau formalin Mikroskop. Kamar obat. Perpustakaan Gulungan layar di kampung nelayan Nyanyi pohon-pohon perkebunan Angin hijau di padang-padang peternakan Deru kemarau di padang-padang penggembalaan Dalam mimpi teknologi, kami kini dipanggil Untuk menggarap tahun-tahun kemerdekaan Dan mencintai manusianya Mencintai kebebasannya.

Sumber :